Senin, 07 Juli 2014

Pengertian dan Contoh Kearifan Lokal



Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua kata:kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengankebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius.
Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai localgeniuskarena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:
1.mampu bertahan terhadap budaya luar,
2.memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3.mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4.mempunyai kemampuan mengendalikan,
5.mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikianmenyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
 Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.

Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.

Contoh Kearifan Lokal
Suran / Suro
Tanggal 1 Muharram atau 1 Suro dalam tanggalan jawa diambil dari peristiwa hijrahnya kaum muslimin dari Kota Makkah ke Madinah. Sejak itulah agama Islam mengalami perkembangan amat pesat. Dalam kurun waktu yang relatif singkat yaitu kurang lebih 8 tahun Islam mulai bergema ke seluruh penjuru dunia, berkembang meluas ke seluruh pelosok permukaan bumi.
Momentum peristiwa hijrah dijadikan titik awal perkembangan Islam dan pembentukan masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah SAW.  Dan karena itu tidak mengherankan jika Khalifah Umar bin Khotob menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal perhitungan tahun baru Islam, yang kemudian dikenal dengan Tahun Baru Hijriah.
Disisi lain bulan Suro, terutama pada malam tanggal 1 Suro di beberapa wilayah Indonesia memiliki aura tersendiri,  malam 1 Suro dianggap malam yang bernuansa mistis.
Oleh karena itu sebagian masyarakat yang mempercayai kemistisan tersebut melakukan berbagai ritual seperti  memandikan benda pusaka seperti keris dan lain-lain, dilarang keras melaksanakan pesta apalagi pernikahan, melaksanakan tirakat dengan begadang semalam suntuk, melakukan kirab malam 1 Suro, kirab Tumuruning Mahesa Suro, ritual Batara Kathong Ponorogo, ritual Telaga Ngebel Ponorogo, dan ritual lainnya.
Sebagian orang memahami bulan Suro sebagai bulan penuh kesialan, itulah yang menyebabkan pada bulan tersebut dilarang melakukan pesta khususnya pernikahan.
Hal ini adalah keyakinan yang tidak memiliki dasar karena bulan Suro atau bulan Muharram justru memiliki makna sebaliknya.  Bulan Muharram memiliki arti kegembiraan, dimana hal tersebut diartikan bahwa pada dasarnya bulan Muharram atau Suro adalah sebuah bulan yang mendatangkan kegembiraan bagi seluruh umat Islam.
Dalam persepsi Islam semua hari adalah baik dan tidak ada waktu atau tanggal yang bisa membawa kesialan pada manusia.  Jika muncul mitos menyesatkan tentang bulan Suro, hal ini tidak lepas dari latar belakang sejarah jaman kerajaan tempo dulu.  Pada bulan Suro sebagian keraton di Pulau Jawa mengadakan ritual membersihkan pusaka keraton.
Ritual membersihkan pusaka keraton pada jaman dahulu menjadi sebuah tradisi yang menyenangkan bagi masrakyat yang masih haus akan hiburan. Sehingga dengan kekuatan kharisma keraton dibuatlah stigma tentang angkernya bulan Suro.
Sehingga jika di bulan Suro rakyat mengadakan hajatan khususnya pesta pernikahan, bisa mengakibatkan sepinya ritual yang diadakan keraton. Dampaknya akan mengurangi legitimasi dan kewibawaan keraton, yang pada saat itu merupakan sumber segala hukum.

Bulan suro dikenal sebagai bulan yang sakral oleh sebagian besar orang Jawa. Beberapa orang masih memiliki kepercayaan jika pada bulan ini tidak boleh mengadakan acara/hajatan. Jika melanggar konon akan mengalami gangguan/hal-hal yang tidak diinginkan dalam acara yang digelar. Ditambah lagi dengan adanya beberapa kegiatan budaya dari keraton-keraton yang masih eksis semisal Kirab Pusaka yang diadakan oleh Kadipaten Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta. Khusus untuk kegiatan dari Keraton Kasunanan yang paling familiar adalah adanya prosesi kirab pusaka yang diawali dengan adanya rombongan kebo bule keturunan “Kyai Slamet” sebagai pembuka jalan. *Dan biasanya justru rombongan kebo bule ini yang menjadi pusat perhatian karena sebagian masyarakat akan memperebutkan kotoran kerbau/kebo (telethong : bahasa jawa) yang diyakini akan membawa berkah*. (*tepuk jidat..geleng-geleng..ngelus dada..hehehe). Hal inilah yang dianggap oleh beberapa orang, kegiatan suran penuh dengan klenik dan bertentangan dengan paham keyakinan/agama yang ada saat ini. Sangat disayangkan jika kegiatan budaya yang ditinggalkan oleh pepundhen yang sebetulnya mempunyai makna yang dalam dan adiluhung serta perlu dilestarikan  tercoreng oleh hal-hal yang bersifat irasional.
Penanggalan Jawa /tahun jawa pada awalnya diciptakan oleh Sultan Agung. Bulan Suro berasal dari kata Asyura (bahasa arab). Penanggalan jawa disinkronkan sesuai dengan penaggalan Islam (hijiryah) oleh Sultan Agung, 1 Suro = 1 Muharram. Pada masa ini menurut Zamakhsyari Dhofier, dikenal sebagai masa pemantaban Islam di Indonesia. Dari latar belakang tersebut, menurut saya, bulan sura identik dengan bulan penuh perenungan /introspeksi diri/muhasabbah. Sehingga orang-orang jaman dulu sering mengingatkan di bulan suro dilarang memiliki hajat / kegiatan yang sifatnya seperti pesta, bukan karena bulan yang sakral melainkan bulan suro sebaiknya diisi kegiatan yang sifatnya untuk merenung, berkaitan adanya pergantian tahun. Diharapkan pada tahun berikutnya pencapaian kita dalam kehidupan yang dijalani bisa lebih baik lagi. Hal inilah yang membedakan pergantian tahun Masehi dengan pergantian tahun Hijriyah. Ketika pergantian tahun Masehi dihiasi dengan pesta yang meriah dan terkesan menghambur-hamburkan uang, berbeda dengan pemahaman wong jawa jika pergantian tahun digunakan untuk merenung tentang kehidupan senantiasa mengingat Sang Khalik, karena suatu saat tanpa kita duga, Sang Khalik akan memanggil kita sewaktu-waktu untuk berpulang padaNya. Dalam istilah jawa dikenal  tansah eling marang sangkan paraning dumadi.
 Sedangkan untuk kegiatan-kegiatan yang menyambut bulan suro seperti kirab pusaka yang dilakukan kraton pun mempunyai makna yang sangat dalam, jika dipahami dengan benar. Mengingat semua kegiatan yang ada berwujud pralambang/simbol, sehingga perlu diketahui makna dari kegiatan tersebut bukan karena ikut-ikutan (gugon tuhon)  Berikut kegiatan-kegiatan yang identik pada malam 1 suro :

a.       Kirab Pusaka
Kirab pusaka biasanya dilakukan pada malam 1 suro, setelah pusaka dijamasi (dicuci/dibersihkan). Biasanya kirab pusaka akan dikirab mengelilingi tembok kraton oleh para abdi dalem Keraton. Prosesi ini pun terkesan sangat sunyi dikarenakan memang para pengiring melakukan tapa mbisu (diam tidak berbicara). Selama prosesi berlangsung, para abdi dalem disuruh untuk merenungkan perjalanan kehidupan selama setahun yang sudah dijalani, disertai dengan melantunkan puji-puji syukur atas nikmat yang diperoleh pada Sang Pemberi Nikmat, dan tidak lupa mengucapkan istighfar atas kesalahan-kesalahan dan kekhilafan yang sudah dilakukan agar tidak terulang di tahun-tahun mendatang. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai makna positif dari prosesi kirab pusaka, substansi dari kegiatan ini adalah bermuhasabbah/merenung/instrospeksi diri.

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_IDjAOdnYnD238mMQ6IGOHAAOXT9lJGegn3VI7HXEA1M2jqROAdptg1ptgP4ZXG550Zf1VS0B4NtILWF2FAIa-OWqxd8yUYNxF0nD1vwo51gFIdSknHPD-6OZcvrjnvMJVsZ7m3DpBak/s200/kirab_pusaka_1.jpg
Prosesi Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Kadipaten Mangkunegaran
Lalu kenapa harus mengelilingi tembok kraton?? Keraton dalam masa Islam di tanah jawa bertindak sebagai pusat pemerintahan, pusat kebudayaan,pusat pendidikan dan pusat agama. Sehingga semuanya bermula dari Keraton. Aturan yang menyangkut ketatanegaraan hingga aturan kehidupan bermasyarakat bermula dari Keraton. Keraton disini hanyalah sebagai penggambaran dari suatu tempat (ibarat seperti magnet) yang menjadi pusat dari kehidupan wong jawa saat itu.Maknanya dari kegiatan diatas,  dalam diri manusia, yang menjadi pusat (pancer : bahasa jawa) adalah hati sanubari/hati nurani. Di dalam hati nurani tersebut terdapat satu tempat yang sangat suci dimana semuanya kelihatan dengan jelas dan tidak bisa dikontaminasi oleh apapun. Yang benar akan dikatakan benar dan yang salah akan dikatakan salah, itulah yang disebut dengan mata hati (telenging roso : bahasa jawa / fu’ad :bahasa arab). Sebagai contoh ketika kita melakukan suatu tindakan yang salah pernahkah anda merasa ada yang memberontak dalam diri anda?ada perasaan bersalah?jantung anda seolah-olah berdegup kencang?itulah hati nurani yang sedang “berkomunikasi” dengan kita. Mungkin kita bisa membohongi pikiran kita, tetapi kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita. Itulah makna dari topo mbisu yang kami sampaikan diatas, kegiatan tersebut mengingatkan kita agar selalu ingat kepada hati nurani/hati sanubari kita masing-masing. Suatu tempat yang senantiasa bersih dan selalu terisi oleh nur Illahiah. Dalam kehidupan manusia akan selalu ditarik oleh berbagai keinginan/hawa nafsu (muthmainah, lauwamah, amarah dan sufiyah) kalau keempatnya tidak bisa kita kendalikan atau dengan kata lain hanya mengikuti hawa nafsu tersebut, kita akan selalu terombang-ambing dan tidak punya arah tujuan. Sebagai pengikat agar kita tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu berada di hati nurani/hati sanubari. Oleh orang jawa dikenal dengan istilah Kiblat Papat Kalima Pancer. Pancer/pusat disini adalah hati nurani/hati sanubari, sedangkan yang dimaksud dengan kiblat papat adalah hawa nafsu yang terdiri dari muthmainah, lauwamah, amarah dan sufiyah.  lantas bagaimanakah caranya agar kita bisa mendengarkan hati nurani/hati sanubari?itulah hakekat kita melaksanakan sholat/sembahyang/kebaktian.






b.      Jamasan Pusaka
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEif9jLeSCkMAo-stjpK8_kdsdjrKf9PVc-F7DctfZbbJBnrEg44x1e2NdCJoZK8XxT829N_aUwpTG-ehEakRLzN76HasaePNRJB_wI0A5p_lX_x1eI965FUEaMuUEDKFtHP0rNerHxR7m0/s200/jamasan+pusaka2.jpeg

Jamasan pusaka merupakan suatu kegiatan yang pada intinya adalah membersihkan / mencuci benda-benda berharga yang dimiliki keraton agar bersih. Bersih dari debu, maupun karat/kerak yang menempel pada benda-benda tersebut. Yang dimaksud benda-benda pusaka tidak hanya berupa senjata seperti keris atau tombak bisa juga benda-benda lain yang dianggap mempunyai nilai tinggi(non-materi)/bersejarah oleh pihak keraton. Tetapi pada umumnya prosesi jamasan didominasi berupa tombak dan keris.  Kenapa
 dibersihkan???karena sebetulnya didalam keris terdapat nilai seni yang sangat indah, yaitu
 pamor. Atau secara awam dapat dikatakan ukiran-ukiran yang terbentuk di batang besi keris. Pamor keris ini biasanya akan terlihat lebih mengesankan jika setelah dibersihkan.(pengalaman pribadi dari koleksi keris yang dimiliki ayahanda, akan terlihat nilai seni dari pamor setelah dijamasi). Selain itu, kenapa dibersihkan?karena benda-benda tersebut merupakan peninggalan leluhur yang senantiasa akan selalu dikenang untuk generasi berikutnya sehingga perlu dirawat dan perawatannya pun perlu dengan metode khusus atau tidak setiap saat, dikarenakan benda-benda tersebut sudah berusia puluhan tahun bahkan mungkin sudah ratusan tahun. Perlakuan dan perawatan secara khusus biasanya memang lazim untuk benda-benda yang masuk kategori kuno apapun itu bentuknya (fosil, karya-karya sastra, lukisan, kitab suci dll).
 Secara maknawi prosesi jamasan pusaka dalam hal ini keris, sebetulnya merupakan penggambaran pembersihan jiwa dari seorang manusia. Diibaratkan warangka keris (wadah) merupakan badan/wadag manusia sedangkan bilah keris merupakan jiwa. prosesi jamasan ini mengingatkan kita untuk senantiasa melakukan pembersihan ruhani dengan berbagai kegiatan keagamaan yang kita yakini masing-masing. Sehingga kegiatan ini mendorong kita untuk selalu dekat dengan Sang Khalik, dengan demikian semakin dekat kita kepada Sang Khalik akan memudahkan kita untuk mendengarkan hati nurani/hati sanubari kita. Hal inilah yang senantiasa membuat jiwa manusia diliputi nur illahiah sehingga menghasilkan budi luhur (akhlaqul karimah) dan ini akan tercermin dalam polah/tindak-tanduk/perilaku yang dihasilkan oleh tubuh/badan/wadag seorang manusia. Dalam istilah jawa dikenal dengan istilah Curiga Manjing Warangka  (jiwa yang berada didalam badan jasmani). Sehingga kegiatan jamasan pusaka ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat, untuk melakukan “jamasan” bagi dirinya sendiri  dan inilah “berkah” yang diharapkan, bukan untuk datang dan memperebutkan air sisa jamasan pusaka dengan harapan akan menjadi berkah, apalagi jimat(istighfar...istighfar..eling-eling..sedaya daya lan kekiyatan punika namung Kagunganipun Gusti Allah..La Haula Wala Quwwata Illa Billah..).

Kesimpulan : Mitos tentang keangkeran bulan Suro ini demikian kuat dihembuskan, agar rakyat percaya dan tidak mengadakan kegiatan yang bisa menganggu acara keraton. Sayangnya mitos tersebut sampai saat ini masih demikian kuat dipegang oleh sebagian orang. Sehingga ada sekelompok orang yang pada bulan Suro tidak berani mengadakan sebuah aktivitas karena dianggap bisa membawa sial.
Biasanya tanggal 1 Suro adalah saat bulan purnama, dan bulan purnama penuh dengan nuansa misteri, mungkin ini juga merupakan hal yang dijadikan dasar kenapa malam 1 Suro memiliki kekuatan mistis.
Keyakinan seperti seperti itu merupakan keyakinan tanpa dasar dan hanya dilandasi pada kata orang tua dulu dan perintah leluhur tanpa bisa menunjukkan dalil secara agama maupun logika.
Bagi umat Islam seharusnya bulan Suro itu sama saja dengan hari-hari lainnya, tidak ada pantangan untuk melaksanakan perayaan apakah itu khitanan atau pernikahan.
Kita hendaknya meyakini kuasa Allah yang telah menjadikan semua hari, tanggal, bulan dan tahun adalah baik. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita berbuat dan bertindak, apakah sudah sesuai dengan ajaran agama, selama kita melakukan hal kebaikan maka Insya Allah kapanpun hal itu dilakukan maka akan memberi manfaat yang baik pula.

 Sumber :