Pengertian kearifan lokal (local
wisdom) dalam kamus terdiri dari dua kata:kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama
dengankebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan,bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius.
Sementara Moendardjito
(dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah
potensial sebagai localgeniuskarena telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:
1.mampu
bertahan terhadap budaya luar,
2.memiliki
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3.mempunyai
kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4.mempunyai
kemampuan mengendalikan,
5.mampu
memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan
pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan
sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal,
terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya
lokal sendiri
adalah pengetahuan
lokal yang sudah sedemikianmenyatu dengan sistem
kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan
mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Maka dari itu kearifan lokal tidaklah
sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga
pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem
pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai
salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang
statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan
ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Jadi, dapat
dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat
setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal
merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya
dianggap sangat universal.
Kearifan
lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang
yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal
yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat
dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi
potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara
dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan
tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan
masyarakat yang penuh keadaban.
Secara
substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku
sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika
dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat
dan martabat manusia dalam komunitasnya.
Dalam
masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah,
sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku
sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup
masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin
dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai
itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi
bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka
sehari-hari
Pengertian
di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan
merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab,
penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam
semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang
biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam
suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan
dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola
perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.
Contoh Kearifan Lokal
Suran / Suro
Tanggal 1 Muharram atau 1 Suro dalam tanggalan jawa
diambil dari peristiwa hijrahnya kaum muslimin dari Kota Makkah ke Madinah.
Sejak itulah agama Islam mengalami perkembangan amat pesat. Dalam kurun waktu
yang relatif singkat yaitu kurang lebih 8 tahun Islam mulai bergema ke seluruh
penjuru dunia, berkembang meluas ke seluruh pelosok permukaan bumi.
Momentum peristiwa hijrah dijadikan titik awal
perkembangan Islam dan pembentukan masyarakat madani yang dibangun oleh
Rasulullah SAW. Dan karena itu tidak mengherankan jika Khalifah Umar bin
Khotob menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal perhitungan tahun baru Islam,
yang kemudian dikenal dengan Tahun Baru Hijriah.
Disisi lain bulan Suro, terutama pada malam tanggal 1
Suro di beberapa wilayah Indonesia memiliki aura tersendiri, malam 1 Suro
dianggap malam yang bernuansa mistis.
Oleh karena itu sebagian masyarakat yang mempercayai
kemistisan tersebut melakukan berbagai ritual seperti memandikan benda
pusaka seperti keris dan lain-lain, dilarang keras melaksanakan pesta apalagi
pernikahan, melaksanakan tirakat dengan begadang semalam suntuk, melakukan
kirab malam 1 Suro, kirab Tumuruning Mahesa Suro, ritual Batara Kathong
Ponorogo, ritual Telaga Ngebel Ponorogo, dan ritual lainnya.
Sebagian orang memahami bulan Suro sebagai bulan penuh
kesialan, itulah yang menyebabkan pada bulan tersebut dilarang melakukan pesta
khususnya pernikahan.
Hal ini adalah keyakinan yang tidak memiliki dasar
karena bulan Suro atau bulan Muharram justru memiliki makna sebaliknya.
Bulan Muharram memiliki arti kegembiraan, dimana hal tersebut diartikan bahwa
pada dasarnya bulan Muharram atau Suro adalah sebuah bulan yang mendatangkan
kegembiraan bagi seluruh umat Islam.
Dalam persepsi Islam semua hari adalah baik dan tidak
ada waktu atau tanggal yang bisa membawa kesialan pada manusia. Jika muncul
mitos menyesatkan tentang bulan Suro, hal ini tidak lepas dari latar belakang
sejarah jaman kerajaan tempo dulu. Pada bulan Suro sebagian keraton di
Pulau Jawa mengadakan ritual membersihkan pusaka keraton.
Ritual membersihkan pusaka keraton pada jaman dahulu
menjadi sebuah tradisi yang menyenangkan bagi masrakyat yang masih haus akan
hiburan. Sehingga dengan kekuatan kharisma keraton dibuatlah stigma tentang
angkernya bulan Suro.
Sehingga jika di bulan Suro rakyat mengadakan hajatan
khususnya pesta pernikahan, bisa mengakibatkan sepinya ritual yang diadakan
keraton. Dampaknya akan mengurangi legitimasi dan kewibawaan keraton, yang pada
saat itu merupakan sumber segala hukum.
Bulan suro dikenal sebagai bulan yang sakral oleh
sebagian besar orang Jawa. Beberapa orang masih memiliki kepercayaan jika pada
bulan ini tidak boleh mengadakan acara/hajatan. Jika melanggar konon akan
mengalami gangguan/hal-hal yang tidak diinginkan dalam acara yang digelar.
Ditambah lagi dengan adanya beberapa kegiatan budaya dari keraton-keraton yang
masih eksis semisal Kirab Pusaka yang diadakan oleh Kadipaten Mangkunegaran dan
Keraton Kasunanan Surakarta. Khusus untuk kegiatan dari Keraton Kasunanan yang
paling familiar adalah adanya prosesi kirab pusaka yang diawali dengan adanya
rombongan kebo bule keturunan “Kyai Slamet” sebagai pembuka jalan. *Dan
biasanya justru rombongan kebo bule ini yang menjadi pusat perhatian karena
sebagian masyarakat akan memperebutkan kotoran kerbau/kebo (telethong : bahasa jawa) yang diyakini
akan membawa berkah*. (*tepuk
jidat..geleng-geleng..ngelus dada..hehehe). Hal inilah yang dianggap oleh
beberapa orang, kegiatan suran penuh dengan klenik dan bertentangan dengan
paham keyakinan/agama yang ada saat ini. Sangat disayangkan jika kegiatan
budaya yang ditinggalkan oleh pepundhen yang sebetulnya mempunyai makna yang
dalam dan adiluhung serta perlu dilestarikan
tercoreng oleh hal-hal yang bersifat irasional.
Penanggalan Jawa /tahun jawa pada awalnya diciptakan
oleh Sultan Agung. Bulan Suro berasal dari kata Asyura (bahasa arab).
Penanggalan jawa disinkronkan sesuai dengan penaggalan Islam (hijiryah) oleh
Sultan Agung, 1 Suro = 1 Muharram. Pada masa ini menurut Zamakhsyari Dhofier,
dikenal sebagai masa pemantaban Islam di Indonesia. Dari latar belakang
tersebut, menurut saya, bulan sura identik dengan bulan penuh perenungan
/introspeksi diri/muhasabbah. Sehingga orang-orang jaman dulu sering
mengingatkan di bulan suro dilarang memiliki hajat / kegiatan yang sifatnya
seperti pesta, bukan karena bulan yang sakral melainkan bulan suro sebaiknya
diisi kegiatan yang sifatnya untuk merenung, berkaitan adanya pergantian tahun.
Diharapkan pada tahun berikutnya pencapaian kita dalam kehidupan yang dijalani
bisa lebih baik lagi. Hal inilah yang membedakan pergantian tahun Masehi dengan
pergantian tahun Hijriyah. Ketika pergantian tahun Masehi dihiasi dengan pesta
yang meriah dan terkesan menghambur-hamburkan uang, berbeda dengan pemahaman
wong jawa jika pergantian tahun digunakan untuk merenung tentang kehidupan
senantiasa mengingat Sang Khalik, karena suatu saat tanpa kita duga, Sang
Khalik akan memanggil kita sewaktu-waktu untuk berpulang padaNya. Dalam istilah
jawa dikenal “tansah eling marang sangkan
paraning dumadi”.
Sedangkan untuk
kegiatan-kegiatan yang menyambut bulan suro seperti kirab pusaka yang dilakukan
kraton pun mempunyai makna yang sangat dalam, jika dipahami dengan benar.
Mengingat semua kegiatan yang ada berwujud pralambang/simbol, sehingga perlu
diketahui makna dari kegiatan tersebut bukan karena ikut-ikutan (gugon tuhon) Berikut kegiatan-kegiatan yang identik pada
malam 1 suro :
a. Kirab Pusaka
Kirab pusaka biasanya dilakukan pada
malam 1 suro, setelah pusaka dijamasi (dicuci/dibersihkan). Biasanya kirab
pusaka akan dikirab mengelilingi tembok kraton oleh para abdi dalem Keraton. Prosesi
ini pun terkesan sangat sunyi dikarenakan memang para pengiring melakukan tapa
mbisu (diam tidak berbicara). Selama prosesi berlangsung, para abdi dalem
disuruh untuk merenungkan perjalanan kehidupan selama setahun yang sudah
dijalani, disertai dengan melantunkan puji-puji syukur atas nikmat yang
diperoleh pada Sang Pemberi Nikmat, dan tidak lupa mengucapkan istighfar atas
kesalahan-kesalahan dan kekhilafan yang sudah dilakukan agar tidak terulang di
tahun-tahun mendatang. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai makna positif dari
prosesi kirab pusaka, substansi dari kegiatan ini adalah
bermuhasabbah/merenung/instrospeksi diri.
Lalu kenapa harus mengelilingi
tembok kraton?? Keraton dalam masa Islam di tanah jawa bertindak sebagai pusat
pemerintahan, pusat kebudayaan,pusat pendidikan dan pusat agama. Sehingga
semuanya bermula dari Keraton. Aturan yang menyangkut ketatanegaraan hingga
aturan kehidupan bermasyarakat bermula dari Keraton. Keraton disini hanyalah
sebagai penggambaran dari suatu tempat (ibarat seperti magnet) yang menjadi
pusat dari kehidupan wong jawa saat itu.Maknanya dari kegiatan diatas, dalam diri manusia, yang menjadi pusat (pancer : bahasa jawa) adalah hati
sanubari/hati nurani. Di dalam hati nurani tersebut terdapat satu tempat yang
sangat suci dimana semuanya kelihatan dengan jelas dan tidak bisa dikontaminasi
oleh apapun. Yang benar akan dikatakan benar dan yang salah akan dikatakan
salah, itulah yang disebut dengan mata hati (telenging roso : bahasa jawa / fu’ad :bahasa arab). Sebagai contoh
ketika kita melakukan suatu tindakan yang salah pernahkah anda merasa ada yang
memberontak dalam diri anda?ada perasaan bersalah?jantung anda seolah-olah
berdegup kencang?itulah hati nurani yang sedang “berkomunikasi” dengan kita.
Mungkin kita bisa membohongi pikiran kita, tetapi kita tidak akan bisa
membohongi hati nurani kita. Itulah makna dari topo mbisu yang kami sampaikan
diatas, kegiatan tersebut mengingatkan kita agar selalu ingat kepada hati
nurani/hati sanubari kita masing-masing. Suatu tempat yang senantiasa bersih
dan selalu terisi oleh nur Illahiah. Dalam kehidupan manusia akan selalu
ditarik oleh berbagai keinginan/hawa nafsu (muthmainah, lauwamah, amarah dan
sufiyah) kalau keempatnya tidak bisa kita kendalikan atau dengan kata lain
hanya mengikuti hawa nafsu tersebut, kita akan selalu terombang-ambing dan
tidak punya arah tujuan. Sebagai pengikat agar kita tidak terombang-ambing oleh
hawa nafsu berada di hati nurani/hati sanubari. Oleh orang jawa dikenal dengan
istilah Kiblat Papat Kalima Pancer. Pancer/pusat disini adalah hati
nurani/hati sanubari, sedangkan yang dimaksud dengan kiblat papat adalah hawa
nafsu yang terdiri dari muthmainah, lauwamah, amarah dan sufiyah. lantas bagaimanakah caranya agar kita bisa
mendengarkan hati nurani/hati sanubari?itulah hakekat kita melaksanakan
sholat/sembahyang/kebaktian.
b. Jamasan Pusaka
Jamasan pusaka merupakan suatu
kegiatan yang pada intinya adalah membersihkan / mencuci benda-benda berharga
yang dimiliki keraton agar bersih. Bersih dari debu, maupun karat/kerak yang
menempel pada benda-benda tersebut. Yang dimaksud benda-benda pusaka tidak
hanya berupa senjata seperti keris atau tombak bisa juga benda-benda lain yang
dianggap mempunyai nilai tinggi(non-materi)/bersejarah oleh pihak keraton.
Tetapi pada umumnya prosesi jamasan didominasi berupa tombak dan keris. Kenapa
dibersihkan???karena sebetulnya didalam keris
terdapat nilai seni yang sangat indah, yaitu
pamor. Atau secara awam dapat dikatakan
ukiran-ukiran yang terbentuk di batang besi keris. Pamor keris ini biasanya
akan terlihat lebih mengesankan jika setelah dibersihkan.(pengalaman pribadi
dari koleksi keris yang dimiliki ayahanda, akan terlihat nilai seni dari pamor
setelah dijamasi). Selain itu, kenapa dibersihkan?karena benda-benda tersebut
merupakan peninggalan leluhur yang senantiasa akan selalu dikenang untuk
generasi berikutnya sehingga perlu dirawat dan perawatannya pun perlu dengan
metode khusus atau tidak setiap saat, dikarenakan benda-benda tersebut sudah
berusia puluhan tahun bahkan mungkin sudah ratusan tahun. Perlakuan dan
perawatan secara khusus biasanya memang lazim untuk benda-benda yang masuk
kategori kuno apapun itu bentuknya (fosil, karya-karya sastra, lukisan, kitab
suci dll).
Secara maknawi prosesi jamasan
pusaka dalam hal ini keris, sebetulnya merupakan penggambaran pembersihan jiwa
dari seorang manusia. Diibaratkan warangka keris (wadah) merupakan badan/wadag
manusia sedangkan bilah keris merupakan jiwa. prosesi jamasan ini mengingatkan
kita untuk senantiasa melakukan pembersihan ruhani dengan berbagai kegiatan
keagamaan yang kita yakini masing-masing. Sehingga kegiatan ini mendorong kita
untuk selalu dekat dengan Sang Khalik, dengan demikian semakin dekat kita
kepada Sang Khalik akan memudahkan kita untuk mendengarkan hati nurani/hati
sanubari kita. Hal inilah yang senantiasa membuat jiwa manusia diliputi nur
illahiah sehingga menghasilkan budi luhur (akhlaqul karimah) dan ini akan
tercermin dalam polah/tindak-tanduk/perilaku yang dihasilkan oleh
tubuh/badan/wadag seorang manusia. Dalam istilah jawa dikenal dengan istilah Curiga
Manjing Warangka (jiwa yang berada didalam badan jasmani).
Sehingga kegiatan jamasan pusaka ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat,
untuk melakukan “jamasan” bagi dirinya sendiri
dan inilah “berkah” yang diharapkan, bukan untuk datang dan
memperebutkan air sisa jamasan pusaka dengan harapan akan menjadi berkah,
apalagi jimat(istighfar...istighfar..eling-eling..sedaya daya lan kekiyatan
punika namung Kagunganipun Gusti Allah..La
Haula Wala Quwwata Illa Billah..).
Kesimpulan
: Mitos
tentang keangkeran bulan Suro ini demikian kuat dihembuskan, agar rakyat
percaya dan tidak mengadakan kegiatan yang bisa menganggu acara keraton.
Sayangnya mitos tersebut sampai saat ini masih demikian kuat dipegang oleh
sebagian orang. Sehingga ada sekelompok orang yang pada bulan Suro tidak berani
mengadakan sebuah aktivitas karena dianggap bisa membawa sial.
Biasanya tanggal 1 Suro adalah saat bulan purnama, dan
bulan purnama penuh dengan nuansa misteri, mungkin ini juga merupakan hal yang
dijadikan dasar kenapa malam 1 Suro memiliki kekuatan mistis.
Keyakinan seperti seperti itu merupakan keyakinan
tanpa dasar dan hanya dilandasi pada kata orang tua dulu dan perintah leluhur
tanpa bisa menunjukkan dalil secara agama maupun logika.
Bagi umat Islam seharusnya bulan Suro itu sama saja
dengan hari-hari lainnya, tidak ada pantangan untuk melaksanakan perayaan
apakah itu khitanan atau pernikahan.
Kita hendaknya meyakini kuasa Allah yang telah
menjadikan semua hari, tanggal, bulan dan tahun adalah baik. Yang perlu
dilakukan adalah bagaimana kita berbuat dan bertindak, apakah sudah sesuai
dengan ajaran agama, selama kita melakukan hal kebaikan maka Insya Allah
kapanpun hal itu dilakukan maka akan memberi manfaat yang baik pula.
Sumber :