Kegelisahan
berasal dari kata “gelisah”. Gelisah
artinya rasa yang tidak tentram di hati atau merasa selalu khawatir, tidak
dapat tenang (tidurnya),tidak sabar lagi (menanti),cemas dan sebagainya.
Kegelisahan artinya perasaan perasahan,khawati, cemas atau takut dan jijik. Rasa gelisah ini sesuai
dengan suatu pendapat yang menyatakan bahwa manusia yang gelisah itu dihantui
rasa khawatir atau takut.
Manusia
suatu saat dalam hidupnya akan mengalami kegelisah. Kegelisan ini, apabila
cukup lama hinggap pada manusia, akan menyebabkan suatu gangguan penyakit.
Kegelisahan (ancienty) yang cukup lama aka menghilangkan kemampuan untuk merasa
bahagia.
Kegelisahan
selalu menunjukan kepada suasana negatif atau ketidak sempurnaan, tetapi
mempunyai harapan. Dikatakan negatif atau ketidaksempurnaan karena menyentuh
nilai –nilai kemanusiaan yang menimbulkan kerugian. Kegelisahan menunjukan
kepada suasana positif dan optimis karena masih ada harapan bebas dari
kegelisahan, yang mendorong manusia mencari kesempurnaan dan mendorong manusia
supaya kreatif.
Tragedi
dunia modern tidak sedikit menyebabkan kegelisahan. Hal ini mungkin akibat
kebutuhan hidup yang meningkat rasa individualistis dan egoisme,persaingan
dalam hidup, kadaan yang tidak stabil, dan seterusnya. Kegelisahan dalam
konteks budaya dapatlah dikatakan sebagai akibat adanya insting manusia untuk
berbudaya,yaitu sebagai upaya mencari “kesempurnaan“. atau, dari segi batin
manusia, gelisah sebagai akibat dosa pada hati manusia. Dan tidak jarang akibat
kegelisahan seseorang, sekaligus membuat orang lain menjadi korbannya.
Penyebeb
kegelisahan dapat pula dikatakan akibat mempunyai kemampuan untuk membaca dunia
dan mengetahui misteri kehidupan. Kehidupan ini yang menyebabkan mereka
gelisah. Mereka sendiri tidak tahu mengapa mereka gelisah, mereka hidupnya
kosong dan tidak mempunyai arti. Orang yang tidak mempunyai dasar dalam
menjalankan tugas (hidup), sering ditimpa kegelisahan. Kegelisahan yang
demikian sifatnya abstrak sehingga disebut kegelisan murni, yaitu merasa
gelisah tanpa mengetahui apa kegelisahannya, seolah-olah tanpa sebab.
Sementara
itu arti harapan adalah sebuah kata yang sering terucap dan ia sering berada di
setiap doa-doa yang diucapkan sepenuh hati oleh setiap manusia. Harapan berarti
kenginan yang lahir dari penyatuan hati dan pikiran atas sesuatu yang
diinginkan. Harapan, kata yang setiap manusia pasti mengetahui dan mengenalnya.
Maka, harapan dapat dikatakan sebagai bagian dari perjalanan hidup manusia yang
berperan untuk memotivasi manusia dalam kehidupan yang baik dan benar.
Harapan
sendiri terlahir sebagai hasrat dari keinginan yang berada di dalam diri
manusia. Ia menjadi sesuatu yang begitu penting karena dengan adanya harapan
dalam diri manusia, maka manusia dapat hidup dengan layak, dengan cara yang
baik dan juga benar. Harapan berasal dari keinginan yang bersumber pada akal
dan budi manusia. Manusia memiliki akal dan budi sebagai pembeda dan penunjuk
atas yang haq dan yang batil, yang benar dan yang salah, yang baik dan yang
jahat. Bersumber dari akal dan budi tesebut harapan berasal. Akal dan budi pun
tidak bekerja sendirian karena ia memerlukan hasrat berupa kehendak untuk dapat
mewujudkan harapan. Akal dan budi berperan penting dalam membedakan suatu hal,
dalam hal ini berupa keinginan, dan menunjukan apakah keinginan tersebut baik
dan bermanfaat untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya atau tidak baik
dan membawa keburukan untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Setelah
manusia sudah dapat membedakan keinginan yang ia inginkan dengan akal dan
budinya, hasrat berupa kehendak mulai memainkan peranannya. Idealnya, hasrat
berupa kehendak akan memilih dan condong kepada kebaikan karena pada dasarnya
hasrat manusia itu fitrah, namun adakalanya ia dapat memilih dan condong kepada
keburukan karena ia lebih mengutamakan nafsu untuk kepentingannya pribadi tanpa
melihat dampa kepentinganya terhadap
lingkungan sekitarnya, dan akal dan budinya telah terbelengu oleh nafsu
serakahnya.
Contoh
hubungan antara gelisah dan harapan , cerita tentang ucapara harapan dalem ubud
:
Sejatinya
ke mana perginya jiwa-jiwa orang meninggal? Bukankah sebenarnya jiwa-jiwa itu
tidak pergi, tapi justru pulang ke Sang Pemilik Kehidupan? Maka, berbahagialah
mereka yang mengantar kepulangan itu dengan penuh syukur dan sukacita.
Mengikuti,
menyaksikan, dan merasakan upacara pelebon/ngaben (kremasi) keluarga kerajaan
di Puri Agung Ubud, Gianyar, Bali, sepekan terakhir seperti memandang diri
sendiri di hadapan cermin.
Dalam
tradisi masyarakat Bali, tubuh seseorang hanyalah wadah bagi jiwanya. Saat
seseorang meninggal dipercayai bahwa atman atau jiwa tetap di sekitar tubuh.
Tubuh terdiri dari unsur api, udara, air, bumi, dan ruang hampa harus kembali
ke alam semesta, menyatu dengan Sang Pencipta. Inilah tujuan ngaben.
Kematian
sejatinya bukan akhir, tetapi awal. Lebih penting lagi cara hidup seseorang dan
bagaimana harapan sangat kuat keluarga almarhum setelah kematian datang.
Itulah
yang jelas tertangkap dari cara sanak keluarga, rekan, dan warga melaksanakan
ngaben atau pelebon. Nyaris tidak ada tangis, tapi wajah-wajah bersemangat,
penuh harapan bagi yang telah meninggal, maupun yang ditinggalkan.
Kremasi
tiga anggota keluarga Puri Agung Ubud ini tergolong peristiwa besar, bahkan
terbesar dalam tiga dasawarsa terakhir. Maka, ketika ngaben mencapai puncaknya,
Selasa (15/7), ruas jalan sepanjang 2 kilometer di Jalan Raya Ubud selebar 5
meter dan jadi jalur arak-arakan jenazah menuju Setra (pemakaman) Dalam Puri
Agung Ubud dari Kompleks Puri Agung Ubud disesaki manusia, warga setempat,
warga daerah lain Bali, hingga turis dari mancanegara. Panitia menaksir jumlah
hadirin mencapai 300.000 orang.
Tiga
orang yang dikremasi itu tergolong dituakan dan terpandang. Mereka adalah
Tjokorda Gde Agung Suyasa, kepala keluarga Puri Agung Ubud dan ketua komunitas
tradisional di Ubud sejak 1976; Tjokorda Gede Raka, seorang pensiunan di
Kepolisian Kota Besar Denpasar; dan Gung Niang Raka. Turut pula dikremasi 68
jenazah dari empat banjar desa adat sekitar Puri Agung Ubud: Banjar Sambahan,
Ubud Tengah, Ubud Kelod Peken, dan Ubud Kaja.
Tjokorda
Agung Suyasa lahir 14 Juli 1941, anak ketiga dari Tjokorda Gde Ngurah dari
permaisuri pertama Tjokorda Istri Muter. Suyasa meninggal 28 Maret 2008,
sedangkan Tjokorda Gde Raka dari Puri Anyar Ubud meninggal sepekan sebelumnya.
Desak Raka adalah istri pertama dari almarhum Tjokorda Raka dari Puri Kaleran
Belingsung Ubud. Desak Raka lahir 1917 dan meninggal 23 Desember 2007. Jenazah
Desak Raka sebenarnya pernah dikremasi pada pelebon sederhana, beberapa saat
setelah meninggalnya. Namun, kini memperoleh kremasi lengkap.
Juru
bicara Puri Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa, menjelaskan ngaben kali ini adalah
pertama terbesar sejak 1979 saat ngaben seniman masyhur Ubud yang juga
keturunan puri, Cokorda Gde Agung Sukawati. Mengingat fungsi puri/kerajaan
dianggap penting dari sisi penegak moral dan ritual keagamaan, dukungan
masyarakat di Bali pun sedemikian besar. Setidaknya 68 desa adat se-Bali secara
gotong royong membantu upacara ini. ”Pelebon bukanlah suatu acara duka, tetapi
diyakini sebagai cara menghibur jiwa-jiwa yang telah meninggal dan menjaga agar
jiwa mereka tidak terganggu oleh tangisan yang ditinggal. Di sisi lain, pelebon
merupakan bentuk gotong royong seluruh anggota keluarga dan masyarakat untuk
mengurangi beban biaya,” kata Kerthyasa, Jumat lalu.
Menurut
Kerthyasa, berapa pun besarnya biaya upacara keagamaan—biaya fisik dalam
seluruh ritual kremasi di Puri Agung Ubud kali ini sekitar Rp 3 miliar—upacara
itu tidak dapat berhenti di tengah jalan. ”Dalam ngaben niri (sendiri) biaya
bisa di atas Rp 50 juta dari kantong pribadi, tapi dalam ngaben massal biaya
bisa ditekan jadi Rp 5 juta,” kata Ni Nyoman Rented, menantu almarhumah Ni
Wayan Genjong, salah satu petani penggarap yang jenazahnya ikut dalam ngaben
massal ini.
Ngaben
massal bersama tiga anggota Puri Agung Ubud juga terasa lebih istimewa bagi
keluarga peserta. Harapan melihat kepulangan jiwa sanak keluarga ke Hyang Widhi
Wasa terasa kian besar karena ngaben massal digelar bersama keluarga kerajaan.
Sekitar
pukul 12.30, Selasa kemarin, arak-arakan pun dimulai. Seluruh jenazah
ditempatkan di sebuah bade (menara untuk jenazah dan yang tertinggi kali ini
28,5 meter dengan berat 11 ton) diarak ribuan warga Bali. Prosesi juga diikuti
patung lembu penuh hiasan megah dan disucikan masyarakat Hindu serta patung
Nagabanda. Patung naga hanya muncul pada kremasi keluarga puri yang dituakan.
Saat
dikremasi, jenazah ditempatkan di atas menara sebagai simbol antara bumi dan
langit. Sebuah bhoma (topeng bermuka seram) ditempatkan di belakang menara
untuk menakuti roh jahat dan topeng garuda di depan menara. Dengan beban sangat
berat, plus kondisi jalan sempit dan penuh sesak manusia, sungguh tidak mudah
mengusung bade-bade serta patung-patung.
Begitu
sampai di pemakaman, seluruh pengunjung bertepuk tangan, sedangkan para
pengusung bersorak. Prosesi dilanjutkan ke area pemakaman (setra), diiringi
gamelan bleganjur. Jenazah yang sudah dibalut kain kafan bersama aneka sesaji
dimasukkan ke dalam perut patung lembu. Tepat pukul 18.30, api dinyalakan dan
dalam sekejap melalap habis patung lembu, nagabanda, serta jenazah-jenazah.
Pada
akhir acara, pedanda membunyikan genta untuk menolong jiwa mencapai surga. Abu
jenazah akan dilarung ke laut, simbol pengembalian ke alam semesta.
Beberapa
hari kemudian, tahap akhir upacara, yaitu nyekah; penyucian jiwa, yang akan
ditempatkan sebagai leluhur di masing-masing merajan (tempat suci di kompleks
pura keluarga).
Berdasarkan
artikel di atas, kegiatan ngaben ( kremasi ) merupakan hal yang penting dan
begitu berarti bagi masyarakat yang menjalaninya. Ia merupakan suatu upacara
yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat setempat. Ngaben
( kremasi ) berarti harapan karena ia dapat mengembalikan jiwa yang telah
terpisah dari tubuhnya untuk kembali kembali ke alam semesta dan menyatu dengan
Sang Pencipta menurut kepercayaan dan keyakinan masyarakat setempat. Ngaben
menjadi suatu bentuk upacara yang diyakini sebagai cara untuk dapat menghibur
jiwa-jiwa yang telah meninggal dan agar jiwa-jiwa tersebut tidak terganggu
dengan tangisan keluarganya sehingga ngaben bukanlah suatu acara duka dan
bersedih-sedihan. Karena dari upacara ngaben, terlihat bahwa kematian bukanlah
akhir dari jiwa yang terus hidup, melainkan awal bagi jiwa tersebut. Ia adalah
cara hidup seseorang dan sebagai bentuk harapan yang sangat kuat bagi keluarga
almarhum setelah kematian menjemput. Tidak tangis yang meliputi keluarga yang
dtinggalkan, melainkan wajah-wajah yang bersemangat, penuh harapan bagi jiwa
yang telah meninggal dan keluarga yang dtinggalkan jiwa tersebut.
Dari
perihal seputar upacara ngaben di atas, dapat dikatakan bahwa harapan tidak
hanya sebagai suatu hasil pemikiran akal dan budi, dorongan kebutuhan hidup,
dan pencapaian atas hasrat berupa kehendak yang terwujud, harapan pun sebagai
motivasi dan penopang hidup yang memiliki nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, dalam hal ini berupa nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Nilai-nilai
kebaikan dan kebajikan ini memberikan makna dan warna kehidupan dalam harapan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Oleh sebab itulah, harapan menjadi begitu
sangat berharga dan penting dalam menjalani kehidupan.
Sumber :
http://yogajoyohadipoetranto28110641.blogspot.com/2012/06/sebab-manusia-mempunyai-harapan-dalam.html