Sabtu, 07 Desember 2013

Hubungan Kegelisahan Dengan Pengharapan



Kegelisahan berasal  dari kata “gelisah”. Gelisah artinya rasa yang tidak tentram di hati atau merasa selalu khawatir, tidak dapat tenang (tidurnya),tidak sabar lagi (menanti),cemas dan sebagainya. Kegelisahan artinya perasaan perasahan,khawati, cemas  atau takut dan jijik. Rasa gelisah ini sesuai dengan suatu pendapat yang menyatakan bahwa manusia yang gelisah itu dihantui rasa khawatir atau takut.
Manusia suatu saat dalam hidupnya akan mengalami kegelisah. Kegelisan ini, apabila cukup lama hinggap pada manusia, akan menyebabkan suatu gangguan penyakit. Kegelisahan (ancienty) yang cukup lama aka menghilangkan kemampuan untuk merasa bahagia.
Kegelisahan selalu menunjukan kepada suasana negatif atau ketidak sempurnaan, tetapi mempunyai harapan. Dikatakan negatif atau ketidaksempurnaan karena menyentuh nilai –nilai kemanusiaan yang menimbulkan kerugian. Kegelisahan menunjukan kepada suasana positif dan optimis karena masih ada harapan bebas dari kegelisahan, yang mendorong manusia mencari kesempurnaan dan mendorong manusia supaya kreatif.
Tragedi dunia modern tidak sedikit menyebabkan kegelisahan. Hal ini mungkin akibat kebutuhan hidup yang meningkat rasa individualistis dan egoisme,persaingan dalam hidup, kadaan yang tidak stabil, dan seterusnya. Kegelisahan dalam konteks budaya dapatlah dikatakan sebagai akibat adanya insting manusia untuk berbudaya,yaitu sebagai upaya mencari “kesempurnaan“. atau, dari segi batin manusia, gelisah sebagai akibat dosa pada hati manusia. Dan tidak jarang akibat kegelisahan seseorang, sekaligus membuat orang lain menjadi korbannya.
Penyebeb kegelisahan dapat pula dikatakan akibat mempunyai kemampuan untuk membaca dunia dan mengetahui misteri kehidupan. Kehidupan ini yang menyebabkan mereka gelisah. Mereka sendiri tidak tahu mengapa mereka gelisah, mereka hidupnya kosong dan tidak mempunyai arti. Orang yang tidak mempunyai dasar dalam menjalankan tugas (hidup), sering ditimpa kegelisahan. Kegelisahan yang demikian sifatnya abstrak sehingga disebut kegelisan murni, yaitu merasa gelisah tanpa mengetahui apa kegelisahannya, seolah-olah tanpa sebab.
Sementara itu arti harapan adalah sebuah kata yang sering terucap dan ia sering berada di setiap doa-doa yang diucapkan sepenuh hati oleh setiap manusia. Harapan berarti kenginan yang lahir dari penyatuan hati dan pikiran atas sesuatu yang diinginkan. Harapan, kata yang setiap manusia pasti mengetahui dan mengenalnya. Maka, harapan dapat dikatakan sebagai bagian dari perjalanan hidup manusia yang berperan untuk memotivasi manusia dalam kehidupan yang baik dan benar.
Harapan sendiri terlahir sebagai hasrat dari keinginan yang berada di dalam diri manusia. Ia menjadi sesuatu yang begitu penting karena dengan adanya harapan dalam diri manusia, maka manusia dapat hidup dengan layak, dengan cara yang baik dan juga benar. Harapan berasal dari keinginan yang bersumber pada akal dan budi manusia. Manusia memiliki akal dan budi sebagai pembeda dan penunjuk atas yang haq dan yang batil, yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat. Bersumber dari akal dan budi tesebut harapan berasal. Akal dan budi pun tidak bekerja sendirian karena ia memerlukan hasrat berupa kehendak untuk dapat mewujudkan harapan. Akal dan budi berperan penting dalam membedakan suatu hal, dalam hal ini berupa keinginan, dan menunjukan apakah keinginan tersebut baik dan bermanfaat untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya atau tidak baik dan membawa keburukan untuk dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Setelah manusia sudah dapat membedakan keinginan yang ia inginkan dengan akal dan budinya, hasrat berupa kehendak mulai memainkan peranannya. Idealnya, hasrat berupa kehendak akan memilih dan condong kepada kebaikan karena pada dasarnya hasrat manusia itu fitrah, namun adakalanya ia dapat memilih dan condong kepada keburukan karena ia lebih mengutamakan nafsu untuk kepentingannya pribadi tanpa melihat dampa   kepentinganya terhadap lingkungan sekitarnya, dan akal dan budinya telah terbelengu oleh nafsu serakahnya.
Contoh hubungan antara gelisah dan harapan , cerita tentang ucapara harapan dalem ubud :
Sejatinya ke mana perginya jiwa-jiwa orang meninggal? Bukankah sebenarnya jiwa-jiwa itu tidak pergi, tapi justru pulang ke Sang Pemilik Kehidupan? Maka, berbahagialah mereka yang mengantar kepulangan itu dengan penuh syukur dan sukacita.
Mengikuti, menyaksikan, dan merasakan upacara pelebon/ngaben (kremasi) keluarga kerajaan di Puri Agung Ubud, Gianyar, Bali, sepekan terakhir seperti memandang diri sendiri di hadapan cermin.
Dalam tradisi masyarakat Bali, tubuh seseorang hanyalah wadah bagi jiwanya. Saat seseorang meninggal dipercayai bahwa atman atau jiwa tetap di sekitar tubuh. Tubuh terdiri dari unsur api, udara, air, bumi, dan ruang hampa harus kembali ke alam semesta, menyatu dengan Sang Pencipta. Inilah tujuan ngaben.
Kematian sejatinya bukan akhir, tetapi awal. Lebih penting lagi cara hidup seseorang dan bagaimana harapan sangat kuat keluarga almarhum setelah kematian datang.
Itulah yang jelas tertangkap dari cara sanak keluarga, rekan, dan warga melaksanakan ngaben atau pelebon. Nyaris tidak ada tangis, tapi wajah-wajah bersemangat, penuh harapan bagi yang telah meninggal, maupun yang ditinggalkan.
Kremasi tiga anggota keluarga Puri Agung Ubud ini tergolong peristiwa besar, bahkan terbesar dalam tiga dasawarsa terakhir. Maka, ketika ngaben mencapai puncaknya, Selasa (15/7), ruas jalan sepanjang 2 kilometer di Jalan Raya Ubud selebar 5 meter dan jadi jalur arak-arakan jenazah menuju Setra (pemakaman) Dalam Puri Agung Ubud dari Kompleks Puri Agung Ubud disesaki manusia, warga setempat, warga daerah lain Bali, hingga turis dari mancanegara. Panitia menaksir jumlah hadirin mencapai 300.000 orang.
Tiga orang yang dikremasi itu tergolong dituakan dan terpandang. Mereka adalah Tjokorda Gde Agung Suyasa, kepala keluarga Puri Agung Ubud dan ketua komunitas tradisional di Ubud sejak 1976; Tjokorda Gede Raka, seorang pensiunan di Kepolisian Kota Besar Denpasar; dan Gung Niang Raka. Turut pula dikremasi 68 jenazah dari empat banjar desa adat sekitar Puri Agung Ubud: Banjar Sambahan, Ubud Tengah, Ubud Kelod Peken, dan Ubud Kaja.
Tjokorda Agung Suyasa lahir 14 Juli 1941, anak ketiga dari Tjokorda Gde Ngurah dari permaisuri pertama Tjokorda Istri Muter. Suyasa meninggal 28 Maret 2008, sedangkan Tjokorda Gde Raka dari Puri Anyar Ubud meninggal sepekan sebelumnya. Desak Raka adalah istri pertama dari almarhum Tjokorda Raka dari Puri Kaleran Belingsung Ubud. Desak Raka lahir 1917 dan meninggal 23 Desember 2007. Jenazah Desak Raka sebenarnya pernah dikremasi pada pelebon sederhana, beberapa saat setelah meninggalnya. Namun, kini memperoleh kremasi lengkap.
Juru bicara Puri Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa, menjelaskan ngaben kali ini adalah pertama terbesar sejak 1979 saat ngaben seniman masyhur Ubud yang juga keturunan puri, Cokorda Gde Agung Sukawati. Mengingat fungsi puri/kerajaan dianggap penting dari sisi penegak moral dan ritual keagamaan, dukungan masyarakat di Bali pun sedemikian besar. Setidaknya 68 desa adat se-Bali secara gotong royong membantu upacara ini. ”Pelebon bukanlah suatu acara duka, tetapi diyakini sebagai cara menghibur jiwa-jiwa yang telah meninggal dan menjaga agar jiwa mereka tidak terganggu oleh tangisan yang ditinggal. Di sisi lain, pelebon merupakan bentuk gotong royong seluruh anggota keluarga dan masyarakat untuk mengurangi beban biaya,” kata Kerthyasa, Jumat lalu.
Menurut Kerthyasa, berapa pun besarnya biaya upacara keagamaan—biaya fisik dalam seluruh ritual kremasi di Puri Agung Ubud kali ini sekitar Rp 3 miliar—upacara itu tidak dapat berhenti di tengah jalan. ”Dalam ngaben niri (sendiri) biaya bisa di atas Rp 50 juta dari kantong pribadi, tapi dalam ngaben massal biaya bisa ditekan jadi Rp 5 juta,” kata Ni Nyoman Rented, menantu almarhumah Ni Wayan Genjong, salah satu petani penggarap yang jenazahnya ikut dalam ngaben massal ini.
Ngaben massal bersama tiga anggota Puri Agung Ubud juga terasa lebih istimewa bagi keluarga peserta. Harapan melihat kepulangan jiwa sanak keluarga ke Hyang Widhi Wasa terasa kian besar karena ngaben massal digelar bersama keluarga kerajaan.
Sekitar pukul 12.30, Selasa kemarin, arak-arakan pun dimulai. Seluruh jenazah ditempatkan di sebuah bade (menara untuk jenazah dan yang tertinggi kali ini 28,5 meter dengan berat 11 ton) diarak ribuan warga Bali. Prosesi juga diikuti patung lembu penuh hiasan megah dan disucikan masyarakat Hindu serta patung Nagabanda. Patung naga hanya muncul pada kremasi keluarga puri yang dituakan.
Saat dikremasi, jenazah ditempatkan di atas menara sebagai simbol antara bumi dan langit. Sebuah bhoma (topeng bermuka seram) ditempatkan di belakang menara untuk menakuti roh jahat dan topeng garuda di depan menara. Dengan beban sangat berat, plus kondisi jalan sempit dan penuh sesak manusia, sungguh tidak mudah mengusung bade-bade serta patung-patung.
Begitu sampai di pemakaman, seluruh pengunjung bertepuk tangan, sedangkan para pengusung bersorak. Prosesi dilanjutkan ke area pemakaman (setra), diiringi gamelan bleganjur. Jenazah yang sudah dibalut kain kafan bersama aneka sesaji dimasukkan ke dalam perut patung lembu. Tepat pukul 18.30, api dinyalakan dan dalam sekejap melalap habis patung lembu, nagabanda, serta jenazah-jenazah.
Pada akhir acara, pedanda membunyikan genta untuk menolong jiwa mencapai surga. Abu jenazah akan dilarung ke laut, simbol pengembalian ke alam semesta.
Beberapa hari kemudian, tahap akhir upacara, yaitu nyekah; penyucian jiwa, yang akan ditempatkan sebagai leluhur di masing-masing merajan (tempat suci di kompleks pura keluarga).

Berdasarkan artikel di atas, kegiatan ngaben ( kremasi ) merupakan hal yang penting dan begitu berarti bagi masyarakat yang menjalaninya. Ia merupakan suatu upacara yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat setempat. Ngaben ( kremasi ) berarti harapan karena ia dapat mengembalikan jiwa yang telah terpisah dari tubuhnya untuk kembali kembali ke alam semesta dan menyatu dengan Sang Pencipta menurut kepercayaan dan keyakinan masyarakat setempat. Ngaben menjadi suatu bentuk upacara yang diyakini sebagai cara untuk dapat menghibur jiwa-jiwa yang telah meninggal dan agar jiwa-jiwa tersebut tidak terganggu dengan tangisan keluarganya sehingga ngaben bukanlah suatu acara duka dan bersedih-sedihan. Karena dari upacara ngaben, terlihat bahwa kematian bukanlah akhir dari jiwa yang terus hidup, melainkan awal bagi jiwa tersebut. Ia adalah cara hidup seseorang dan sebagai bentuk harapan yang sangat kuat bagi keluarga almarhum setelah kematian menjemput. Tidak tangis yang meliputi keluarga yang dtinggalkan, melainkan wajah-wajah yang bersemangat, penuh harapan bagi jiwa yang telah meninggal dan keluarga yang dtinggalkan jiwa tersebut.
Dari perihal seputar upacara ngaben di atas, dapat dikatakan bahwa harapan tidak hanya sebagai suatu hasil pemikiran akal dan budi, dorongan kebutuhan hidup, dan pencapaian atas hasrat berupa kehendak yang terwujud, harapan pun sebagai motivasi dan penopang hidup yang memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini berupa nilai-nilai kebaikan dan kebajikan. Nilai-nilai kebaikan dan kebajikan ini memberikan makna dan warna kehidupan dalam harapan yang dimiliki oleh setiap manusia. Oleh sebab itulah, harapan menjadi begitu sangat berharga dan penting dalam menjalani kehidupan.
 Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar