Pengertian tanggung jawab dalam Kamus Umum Bahasa Besar Indonesia adalah
keadaan dimana wajib menanggung segala sesuatu, sehingga berkewajiban
menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab
dan menanggung akibatnya.
Tanggung jawab dapat di
artikan juga kesadaran diri manusia terhadap semua tingkah laku dan perbuatan
yang disengaja atau pun tidak di sengaja. Tanggung jawab juga harus berasalah
dari dalam hati dan kemauan diri sendiri atas kewajiban yang harus di tanggung
jawabkan.
Timbulnya tanggung jawab itu karna seseorang
bermasyarakat dengan yang lainnya dan hidup bersama dilingkungan alam. Manusia
tidak boleh dan tidak bisa berbuat semaunya terhadap sesama manusia atau alam
sekitarnya. Manusia harus menciptakan keseimbangan, keselarasan antara sesama
manusia di lingkungan sekitar. Tanggung Jawab bersifat kodrati yaitu sudah
pasti tanggung jawab itu harus ada didalam diri setiap manusia, bahwa setiap
manusia pasti dibebani dengan rasa tanggung jawab yang besar. Apabila ia tidak
mau dan tidak bisa bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang harus memaksa
tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua
sisi yaitu dari sisi yang berbuat dan dari sisi yang kepentingan pihak lain.
Dari sisi si pembuat ia harus menyadari akibat - akibat perbuatannya itu dengan
demikian ia sendiri juga yang harus merubah ke dalam keadaan baik. Dari sisi
pihak lain apabila si pembuat tidak mau dan tidak bisa bertanggung jawab, pihak
lain yang akan membuat menjadi lebih baik dengan cara individual ataupun dengan
cara kemasyarakat.
Tanggung jawab adalah ciri - ciri manusia yang
beradab atau (berbudaya). Manusia merasa bertanggung jawab karena adanya rasa
sadar dan menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu dan menyadari bahwa
pihak lain pasti memerlukan pengabdian atau pengorbanannya. Untuk
memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh dan
diusahakan melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan dan takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Berikut salah satu contoh tanggung jawab yang baik antar manusia.
Menjadi
guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan juga
ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan pelajaran.
Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan. Hanya orang-orang
tertentu saja yang mampu menjalankannya.
Menjadi
guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi
anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy (sindroma gangguan otak belakang).
anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy (sindroma gangguan otak belakang).
Suatu
ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas
khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.
khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.
Saat hadir
disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun
bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik. Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian anak yang beradu dengan lantai.
bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik. Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian anak yang beradu dengan lantai.
Saya
merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihat seorang
guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk, duduk
sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya kepada
saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas mereka.
Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral Palsy
dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya melonjak-lonjak,
tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan kepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah,
si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia tergelak
tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu menyusun
angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan. Ah, saya
mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan saya.
Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa damai
dan hangat.
Sementara
di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak
disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar. Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu. Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar. Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu. Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
Waktu
berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah
membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing. Duh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya. Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing. Duh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya. Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai.
Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat mata
mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat” kecil
itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti disbanding dengan
pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju pintu
keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya. Dduh, ada
apa ini?
Lagi-lagi
saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam,
mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi rodamereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya. Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk sekedar mencium tangan saya.
mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi rodamereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya. Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk sekedar mencium tangan saya.
Anak yang
terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak ke
samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diamsaya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya
biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Bangga kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diamsaya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya
biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Bangga kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
Berdasarkan cerita diatas dapat kita simpulkan
bahwa menjadi guru tidaklah mudah , menjadi guru bukan pekerjaan mentereng.
Menjadi guru juga bukan pekerjaan yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu
sorot yang memancar , sebab mereka memang bukan para pesohor, bukan pula
bintang panggung.
Namun, ada
sesuatu yang mulia disana pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya kebajikan
dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Merekalah sumber cahaya-cahaya itu,
yang menyinari setiap hati anak-anak didik mereka. Dari gurulah kita belajar
mengeja kata dan kalimat , lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar mengasah
hati, dan menyelami nurani , lewat guru pula kita mengerti tentang banyak
hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar