Pengabdian Yang Berujung PHK,
Kasus PHK Karyawan Securicor (238
Orang)
Setiap individu memiliki kewajiban
dan hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai manusia yang dituntut untuk
mengolah dan menata kehidupan yang bermartabat dan layak. Maka dalam hal ini
bahwa setiap individu untuk selalu menjalankan aktifitas dengan bekerja pada
berbagai sektor kehidupan, dan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan
buruh.
Menjadi persoalan besar pada kondisi
negara kita yang kini terpuruk, di tengah-tengah krisis ekonomi yang semakin
sulit, pengangguran dimana-mana, sulitnya lapangan kerja lebih diperparah lagi
dengan menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang sering
kali bertentangan dengan Undang-undang, masalah ini telah menjadi budaya
dikalangan Perusahaan. Menjadi fakta bagi karyawan buruh securicor yang telah
bekerja puluhan tahun menggantungkan nasibnya akan tetapi telah menjadi korban
pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berawal pada tanggal 19 juli 2004
lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack denganSecuricor
International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger
di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor yang
diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan
pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka terkait dengan merger di
tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak
menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang
semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT
Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai
terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih
ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena
alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang
memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.
Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini
mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga
tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU
tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke
instansi (P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa
Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan
tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan
ketidakjelasanstatus mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan surat
0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan
instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya
perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan ini terus bergulir dari
mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia dengan
Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili
oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah
Toisutta akan tetapi kembalideadlock, sehingga permasalahan ini
ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P,
dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.
Fakta dari P4P
1. Agar
pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja
Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT.
Securicor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran ini;
2. Agar
pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada
pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
3. Agar pekerja
sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali
pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya surat anjuran ini;
Akan tetapi pihak perusahaan tidak
menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan melakukan banding ke PT. TUN
Jakarta dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H.memberikan
kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali
bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para
pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap
mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya
rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa
para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan
kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat
secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan
menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi.
Dan itu kebohongan besar. Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta
pihak pengusaha untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal
dan ternyata perusahaan tidak merespon. Adapun terkait dengan aksi demo yang
dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta:
Dasar Tuntutan
1. Bahwa pekerja tetap tidak pernah
minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka para pekerja minta
untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali sesuai dengan pasal 156 ayat
2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
2. Bahwa Penggugat melakukan pemutusan
hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karena
penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4 Pusat
3. Bahwa para pekerja meminta uang
pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta dibayarkan hak-haknya
yang selama ini belum terpenuhi.
Perjalanan kasus ini telah melewati
proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah diputus pada tanggal 29 Juni
2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai
Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan
telah berpihak kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan
penggugat untuk seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa
hukumnya tersebut telah mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah
diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi,
dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan,
kebenaran dan kejujuran yang sejati.
David Oliver Sitorus, S.H., Ali Imron, S.H.
Analisis
Kasus ini membahas tentang
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan PT. Securicor terhadap 284 pekerjanya
(buruh). Penyebab terjadinya PHK masal ini disebabkan akan dilakukannya
perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional. Hal
tersebut tentu saja tidak bisaditerima oleh pihak pekerja dengan begitu
saja, keputusan tersebut dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi kesepakatan
berdasarkan penetapan yang telah ada. Pihak
perusahaan melakukan PHK masal tanpa memberi uang pesangon kepada pekerjanya, hal
tersebut membuat para pekerja menjadi geram.
Berdasarkan kasus diatas maka dapat
erdampak psikologis terhadap para buruh PT. Securior tersebut. Kasus tersebut
memiliki hubungan dengan teori kebutuhan Abraham Maslow dimana PHK itu menyebabkan
dam pak psikologis bagi orang terPHK tersebut. Hal ini dapat dilihat dimana
karyawan yang di PHK tersebut akan sulit untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dari hirarki Maslow. Teori kebutuhan kusus hirarki tersebut ialah dimulai dari
kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks, yang
hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu
peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada
peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting (Maslow, 1993)
dimana tingkat pertama dari hirarki tersebut pun akan susah di penuhi olehnya
karena ia telah menjadi pengangguran. Selain itu, ia juga tidak akan dapat memenuhi
kebutuhan “safety” nya karena ia tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal ini
akan mengakibatkan ia tidak dapat menaiki tingkat kebutuhan Maslow yang lain. Dilain
sisi yakni pada pihak perusahaan dapat dikaitkan denga salah satu teori
kontemporer motibasi yaitu teori harapan. Karena pihak perusahaan melakukan
hal-hal yang minimum hanya untuk menyelamatkan diri, dalam kasus ini
menyelamatkan pemimpin-pemimpin perusahaan yang serakah.
Dampak psikologis yang dialami para
buruh juga berkenaan mengenai menurunnya tingkat motivasi dengan tidan
diberikannya uang pesangon, sehingga membut mereka tidak daoat terpenuhi
faktor-faktor motivasi kerja yang sangat kuat yakni terpenuhinya kebutuhan yang
mendasar untuk mempertahankan hidup (Martgaria, 1999).
Disamping itu pula, para buruh tidak
dapat mencapai kepuasan dalam melakukan pekerjaan mereka, seperti yang
dikemukakan oleh teori kepuasan (content
theory) yang menjelaskan bahwa jika kebutuhan dan kepuasannya semakin
terpenuhi maka semangat kerjanya pun aka semakin baik pula (Makmun, 2003). Jadi
pada kesimpulannya, seseorang akan bertindak (bersemangat berkerja) untuk dapat
memenuhui kebutuhan-kebutuhan (Inner
Needs) dan kepuasannya namun begitu pula sebaliknya. Dalam masalah ini para
buruh tidak mencapai kepuasan pada pekerjaan mereka sehingga mereka menjadi
geram.
Solusinya yang dapau diberikan pada
kasus ini ialah, dengam melakukan perundingan antara pihak pemimpin perusahaan
dan para buruh yang akan di PHK. Perundingan tersebut dilakukan dengan tuhujuan
dapat memperoleh keputusan yang optimal, yakni apabila tetap melakukan PHK maka
para buruh harus dipenuhi terlebih dahulu haknya seperti uang pesangon sisa
mereka bekerja. Namun apabila keputusan untuk melakukan PHK dibatalkan maka
tempatkan kembali para buruh di posisi kerja mereka masing-masing dan berikan
motivasi kepada setiap pekerja agar dapat kembali bekerja secara maksimal agar
dapat memajukan perusahaan. Bentuk perubahan yang dapat dilakukan yakni
mengenai situasi kerja, sehingga dapat menumbuhkan motivasi dalam diri setiap
karyawan salah satunya seperti kultur organisasi meliputi norma, nilai dan
keyakinan bersama anggota perusahaan untuk meningkatkan individu. Kultur yang
mengembangkan rasa hormat kepada karyawan, yang melibatkan mereka dalam
pengambilan keputusan (Furtwngler, 2003)
http://gitacintanyawilis.blogspot.co.id/2010/05/contoh-analisa-kasus-phk.html